SENEKO | Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma menjelaskan kesiapan dunia usaha dalam mendukung transisi energi baru terbarukan (EBT). Menurut dia, dari perspektif yang terjadi saat ini dunia memang sudah dalam posisi ingin melaksanakan komitmen untuk menurunkan emisi karbon.
“Itu sudah tidak ada kata berhenti, karena itu semua pihak berlomba-lomba untuk menyampaikan ambisinya menuju ke arah sana termasuk Indonesia menyampaikan 2060 tadi untuk net zero emission,” ujar dia dalam acara Tempo Energy Day 2022 secara virtual pada Rabu, 19 Oktober 2022.
Namun, kata dia, Indonesia tidak menjadi yang tercepat tidak pula menjadi yang paling lambat. Karena ada negara yang ingin mencapai net zero emission pada tahun 2050 dan 2070. Sehingga, upaya Indonesia harus melihat tantangan yang paling besar yaitu transformasi dari energi fosil ke EBT.
Dia menilai untuk transformasi dari fosil ke EBT membutuhkan sumber daya pikiran, financing, sumber daya manusia (SDM), dan alamnya itu sendiri, serta usaha-usaha lainnya. Jika sumber daya alamnya cukup menuju transisi energi, lalu bagaimana dengan sumber daya financing-nya.
“Kalau tadi disampaikan butuh US$ 1 triliun menuju 2060, artinya untuk waktu 38 tahun, bisa kita bagi per tahun kira-kira berapa,” ucap Surya.
“Dari mana sumbernya anggarannya, APBN yang kita punya berapa? Kalau itu tidak cukup dari APBN, siapa yang kita ajak untuk berpartner untuk bisa merealisasikan keinginan itu,” imbuhnya.
Surya mengatakan, dalam konteks apapun peran dunia usaha itu akan sangat besar saat transisi energi. Dunia usaha, kata dia, tentu akan berhitung bagaimana untuk bisa berinvestasi dari sektor-sektor yang sekarang ada menuju ke sektor yang akan datang, energi terbarukan.
Karena itu bagaimana dana yang dimilikinya, Surya berujar, bisa difokuskan untuk mengembangkan ke arah sana. Harapannya adalah investasi yang ditanamkan itu juga memiliki daya tarik, karena pasti akan terjadi kompetisi apakah akan memilih sektor energi atau sektor lain. “Sektor energi ini juga akan berkompetisi dengan sektor lain.”
Sehingga Surya menyarankan agar pemerintah harus membuat sektor energi ini betul-betul memiliki daya tarik dan jauh lebih baik dibandingkan dengan sektor-sektor yang lain. Apa lagi selama ini tantangan yang paling besar adalah bahwa investasi yang ditanamkan di sektor EBT itu tingkat pengembaliannya jauh lebih kecil atau lebih lama dibandingkan dengan sektor sektor energi lain termasuk fosil.
“Karena itu kenapa orang berlomba-lomba untuk masuk ke sektor batu bara, sektor minyak, sektor gas, dan sebagainya,” tutur Surya.
Sementara, Direktur Panas Bumi Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Harris menuturkan tantangan transisi ke EBT di Indonesia adalah dari aspek harga. Menurut dia harga EBT kalau dibandingkan dengan energi fosil misalnya dengan listrik dari batu bara masih sedikit lebih tinggi.
Namun, pemerintah tentunya melakukan berbagai upaya termasuk memperbaiki dan memperkuat kebijakan terkait dengan harga dan juga kebijakan insentif. “Dan hal lain yang memang diarahkan untuk bisa membuat harga keekonomian dari energi baru dan terbarukan itu semakin kompetitif,” kata Harris.
Menurut dia, potensi energi baru terbarukan Indonesia sangat besar sehingga patut disyukuri. Kementerian ESDM mencatat ada lebih dari 3.600 giga watt yang dimiliki Indonesia, sehingga menjadi potensi yang sangat berharga untuk kita kembangkan di dalam rangka mencapai net zero emission.
Potensi terbesar memang ada di energi surya atau pembangkit listri tenaga surya (PLTS) yang bisa dikembangkan. “Kemudian ada hydro yang juga sangat besar, geothermal, ada win, bioenergi, bahkan kita punya potensi juga untuk energi laut yang memang sampai saat ini belum dikembangkan,” ujar Harris.
0 Komentar