BREAKING NEWS

Tangis di KPK: Noel, Anak Rakyat yang Jatuh di Altar Kekuasaan


SENEKO NEWS | JAKARTA — Senyap terasa di halaman Gedung Merah Putih KPK malam itu. Dari balik pintu, seorang pria dengan rompi oranye khas tahanan berjalan gontai. Matanya sembab, wajahnya tertunduk, air mata jatuh membasahi pipinya. Dialah Immanuel Ebenezer, atau Noel, aktivis 98 yang pernah dielu-elukan sebagai pejuang rakyat kecil.

Tangannya berulang kali menutupi wajah, berusaha menyembunyikan penyesalan yang tak lagi bisa ia tahan. Suara isaknya lirih, namun cukup untuk merobek hati siapa pun yang menyaksikan.

“Noel menangis, saya lihat sendiri. Tangisnya seperti orang yang merasa perjuangannya sia-sia,” kata seorang petugas dengan nada iba.

Air mata itu bukan sekadar tangis seorang tersangka. Itu adalah tangis seorang pejuang yang merasa runtuh, tangis sejarah yang menyimpan luka panjang perjuangan.

Dari Jalanan ke Istana, Kini Sunyi di Penjara


Publik masih ingat Noel muda yang lantang menentang ketidakadilan, mengutuk oligarki, dan membela kaum tertindas. Dari jalanan demonstrasi, ia naik menjadi pejabat negara, dipercaya oleh penguasa. Namun kini, jalan panjang itu berakhir di ruang pemeriksaan KPK.

Di luar gedung, beberapa kawan lama masih setia menunggu. Mereka memanggil namanya, berharap Noel menoleh, tapi ia hanya menunduk. Pandangan kosong, tubuh rapuh, seakan ia memikul dosa seluruh dunia.

Misteri Aset, Tuduhan yang Menyesakkan


Skandal Noel makin dalam. Belasan mobil dan motor disita, tetapi tak ada satu pun atas namanya. Publik mendesak STNK dan BPKB dibuka ke publik, agar terang siapa pemilik sebenarnya.

Kasus ini juga menyeret nama besar lain: Patra Niaga, bensin oplosan, Yaqut, bahkan rencana pemeriksaan Boby. Banyak pengamat menilai, tekanan terhadap Noel adalah pesan politik dari rezim, simbol bahwa “pemberantasan korupsi” harus ada tumbalnya.

Pembelaan di Tengah Sunyi


“Noel bukan pemeras,” ucap seorang rekannya. Noel sendiri menegaskan, pemerasan selalu ada unsur ancaman, sementara ia tak pernah meminta uang. “ASN yang ditangkap justru memanfaatkan situasi,” katanya.

Namun pembelaan itu bagai suara yang tenggelam. Malam-malam rumah Noel didatangi KPK, OTT dilakukan tanpa penjelasan jelas. Semua seperti telah digariskan.

Ujian, Takdir, dan Air Mata


Sebagai aktivis 98, Noel dikenal sederhana. Ia tak pernah benar-benar hidup mewah. Kini, ironi menampar: ia yang dulu melawan kapitalisme, justru dituduh sebagai bagian darinya.

Bagi sebagian orang, Noel hanyalah tersangka. Tapi bagi sebagian lain, ia adalah martir—korban dari permainan kekuasaan yang lebih besar dari dirinya.

Dan di titik paling rendah itu, ada pesan religius yang terasa: bahwa manusia hanyalah hamba yang diuji. Tak ada kuasa yang lebih besar dari takdir Allah. Air mata Noel di halaman KPK menjadi tanda bahwa sehebat apapun perjuangan, sekuat apapun nama besar, manusia tetap rapuh di hadapan cobaan.

Tangis Zaman yang Pernah Ia Perjuangkan


Kini Noel duduk dalam kesendirian, mungkin menyesali langkah, mungkin juga merenungi hikmah. Air matanya bukan hanya tangis seorang pejabat yang jatuh, melainkan tangis sebuah zaman yang pernah ia perjuangkan dengan darah dan keringat.

Tangis itu seakan berkata: “Bahwa jalan perjuangan dan kekuasaan hanyalah titipan. Dan pada akhirnya, semua kembali kepada-Nya.” (*)