BREAKING NEWS

Zombifikasi BUMN: Separuh Perusahaan Negara Merugi, Rp50 Triliun Hilang Tiap Tahun


SENEKO NEWS | JAKARTA — Pernyataan Dony Oskaria, COO Danantara, dalam Special Talkshow Nota Keuangan & RAPBN 2026 (15/8/2025) membuka borok lama yang selama ini ditutup-tutupi pemerintah. 

Ia menegaskan bahwa dari 1.046 BUMN beserta anak dan cucu-cicit perusahaannya, 97 persen dividen hanya datang dari 8 perusahaan, sementara 52 persen BUMN justru merugi dengan total kerugian ±Rp50 triliun per tahun.

Data ini menunjukkan bahwa jargon “BUMN sebagai penggerak ekonomi nasional” lebih banyak berhenti di level retorika ketimbang realitas. Pertanyaan kritisnya: siapa yang sesungguhnya diuntungkan dari keberadaan BUMN?

Secara teori, BUMN dirancang untuk menguasai cabang produksi penting bagi negara dan memenuhi hajat hidup orang banyak (Pasal 33 UUD 1945). Namun, dalam praktiknya, BUMN justru sering menjadi arena patronase politik dan bisnis rente.

Menurut kajian State-Owned Enterprise Governance (OECD, 2019), salah satu penyakit kronis BUMN di negara berkembang adalah campur tangan politik yang berlebihan, penempatan pejabat berdasarkan loyalitas, serta minimnya transparansi tata kelola. Pola inilah yang tampak jelas dalam tubuh BUMN Indonesia.

“BUMN dijadikan sapi perah kekuasaan. Komisaris diisi elit politik, bukan profesional. Akibatnya, kinerja mandek, sementara kerugian ditanggung negara melalui APBN. Negara siapa? Ya rakyat. Sementara elit tetap aman dengan gaji, fasilitas, dan jaringan rente,” tegas Fredi Moses Ulemlem, pengamat hukum dan politik.

BUMN Sebagai Beban Fiskal,Kerugian ±Rp50 triliun per tahun setara dengan:

- Lebih dari dua kali anggaran kesehatan beberapa provinsi di Indonesia.

- Setara dengan subsidi pangan nasional selama satu tahun.

Artinya, uang yang seharusnya bisa dipakai untuk membiayai pendidikan, kesehatan, dan subsidi rakyat justru terkuras untuk menopang BUMN yang gagal.

Kajian LPEM UI (2023) juga menyoroti bahwa kontribusi BUMN terhadap PDB Indonesia stagnan di bawah 6%, jauh tertinggal dibandingkan Tiongkok atau Vietnam, di mana BUMN justru menjadi mesin pembangunan produktif.

Menurut Fredi, separuh BUMN yang merugi bisa dikategorikan sebagai “Zombie BUMN”: hidup segan, mati tak mau. Tidak ditutup karena alasan politik, tapi tidak mampu berkompetisi karena boros, penuh beban birokrasi, dan dikelola tanpa visi bisnis.

“Kalau setengah BUMN rugi, itu bukan sekadar kesalahan manajemen. Itu sistemik. Ada kultur kroniisme yang membuat kegagalan jadi normal. Tidak ada akuntabilitas, tidak ada pejabat yang mundur. Yang jadi korban justru rakyat yang pajaknya dipakai menambal kerugian,” jelas Fredi. 

Para ekonom pun menilai, ada dua opsi besar:

- Reformasi struktural — BUMN yang merugi ditutup atau digabung, komisaris politis dicopot, dan tata kelola berbasis profesional diberlakukan.

- Revolusi BUMN — Alih-alih sekadar efisiensi, BUMN harus benar-benar kembali ke mandat konstitusi: melayani kebutuhan rakyat, bukan sekadar mengejar dividen atau menjadi alat patronase.

Jika langkah radikal tidak segera diambil, maka RAPBN 2026 berpotensi menjadi sekadar tambal-sulam, di mana kerugian BUMN terus ditutupi dengan utang dan pajak rakyat, sementara elite ekonomi-politik menikmati status quo.

Kisah BUMN adalah cermin kontradiksi pembangunan di Indonesia: nasionalisme ekonomi di mulut, neoliberalisme dan politik rente di lapangan. Pertanyaannya sederhana tapi tajam:

Apakah pemerintah berani memangkas setengah BUMN yang terus merugi, atau akan terus menjadikan rakyat sebagai “bailout permanen” bagi perusahaan negara yang gagal?(sa/by)